Dikisahkan di sebuah desa hidup seorang petani bernama Nyoman Jater. Dia hidup besama istrinya bernama Ni Blenjo. Istrinya ini dikenal sebagai seorang yang sok pintar dan seakan-akan tahu semua hal di desa tersebut. Namun Nyoman Jater tetap setia dan sabar menghadapi tingkah laku istrinya itu. Karena seorang petani kecil, mereka hidup seadanya. Makan pun mereka kadang hanya makan sayur dan berlauk kakul (keong sawah) yang didapat dari sawah.
Diceritakan pada suatu hari Nyoman
Jater diajak menangkap ikan ke sungai oleh teman-teman di desanya. Di pagi hari
itu Nyoman Jater menyuruh istrinya agar menyiapkan bumbu-bumbu dapur untuk
masakan seandainya dia mendapatkan ikan. Ni Blenjo pun mangut-mangut kepada
Nyoman Jater.
Sesampai di sungai Nyoman Jater
menyiapkan jala dan pancing untuk menangkap ikan bersama teman-temannya.
Mungkin mereka kurang beruntung, sampai siang hari tidak satu pun ikan
didapatnya. Sampai ketika pancing Nyoman Jater bergerak pertanda ada ikan
terpancing. Setelah pancing diangkat
ternyata Nyoman Jater mendapatkan seekor ikan sidat yang cukup panjang. Dia pun
bersorak kegirangan. Karena merasa lelah, Nyoman Jater memutuskan untuk pulang
karena matahari semakin terik.
Sesampai dirumah Nyoman Jater
memanggil istrinya yaitu Ni Blenjo untuk mengolah ikan sidat tersebut. Ni
Blenjo kaget bukan kepalang melihat suaminya itu terlihat membawa ular dan
menyuruh untuk membuangnya. Nyoman Jater pun geleng-geleng kepala melihat
istrinya tersebut sembari membilang “Beh,
Kaden seken nyai dueg, ne boya je lelipi, ne meadan be julit”. Yang artinya
“aduh kukira beneran kamu pintar, ini bukan ular melainkan ikan sidat”. Ni
Blenjo pun mengambil ikan tersebut dan ditinggal oleh Nyoman Jater ke sawah.
Nyoman Jater membilang agar Ni Blenjo segera memasak ikan tersebut agar nanti
sepulang dari sawah ikan itu sudah jadi.
Ni Blenjo berpikir bagaimana cara
dia untuk mengolah ikan tersebut. Diambilah wajan dan ditaruhnya ikan sidat
tersebut diatas wajannya. “Peh sing
nyandang payuk e ne, bes dawe be ne”. Artinya “aduh tidak muat wajannya,
ikannya terlalu panjang”. Begitu dia berpikir, kemudian dia pergi ke
tetangganya untuk meminjam wajan yang lebih besar. Dia pergi ke rumah
tetangganya sebelah timur, namun tidak punya wajan yang lebih besar dari
punyanya. Dia pun pergi ke rumah tetangganya sebelah barat, namun juga tidak
punya. Sesampai kembali di rumah, Ni
Blenjo malah masuk ke kamar narik selimut dan tidur.
Hari sudah sore Nyoman Jater pun
sampai di rumah dan melihat ikan sidatnya masih tergantung di dapur. “Yaih, orain ngencanin be e, adi nu megantung
dini”. Artinya “Aduh, disuruh ngolah ikan, kok masih tergantung disini”.
Gerutu Nyoman Jeter. Dia pun menuju ke kamar dan melihat Ni Blenjo tidur
berselimut. Ni Blenjo mengaku dirinya lagi sakit kepala sambil pura-pura
menggigil. Nyoman Jater yang tahu akan tingkah polah istrinya pun geleng-geleng
kepala sambil berpikir “Ne be pragat
ngaku dueg, orahin ngencanin be mone be ngaku-ngaku gelem”. Artinya “ Ini
sudah selalu mengaku pintar, disuruh mengolah ikan segini saja sudah mengaku
sakit”. Sembari menuju ke dapur untuk mengolah ikan sidat tersebut.
Nyoman Jater pun mengambil pisau
dan memotong-motong ikat sidat tersebut. Mendengar suara berisik, Ni Blenjo
bangun dari tempat tidurnya dan mengintip suaminya. Melihat suaminya dari
lubang dinding dapurnya Ni Blenjo bergumam “Mimih,
tugel-tugel e be ane lantang totonan”. Artinya “Ya ampun, ikan yang panjang
itu dipotong-potong”. Setelah melihat cara suaminya mengolah ikan, Ni Blenjo
kembali ke tempat tidurnya sambil menarik selimutnya.
Beberapa saat kemudian Ni Blenjo
mencium aroma segar yang begitu gurih yang membuat perutnya keroncongan
kelaparan. Namun dia tetap kukuh ditempat tidurnya masih pura-pura sakit. Disisi
lain Nyoman Jater sudah selesai memasak ikannya dan memanggil Ni Blenjo untuk
makan. Ni Blenjo pun bangun dari tidurnya dengan lagak orang yang masih sakit
sembari mengatakan “I cang medar bedik
gen, nu seneb basange”. Artinya “aku makan sedikit saja, perut saya masih
tidak enak”. Mereka pun makan bersama dan tanpa sadar Ni Blenjo makan begitu
lahap sampai habis dua piring. Nyoman Jater sampai heran dan geleng-geleng
kepala melihat tingkah polah istrinya yaitu Ni Blenjo.
Begitulah cerita pasangan suami
istri antara Nyoman Jater dengan Ni Blenjo. Kisah ini mengajarkan kita
janganlah selalu merasa paling pintar, karena berbagai masalah akan datang
dikehidupan kita yang kadang kita tidak tahu untuk menyelesaikannya. Dan jangan
juga merasa gengsi karena gengsi tidak akan menyelesaikan masalah apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar