Sabtu, 04 Februari 2012

sejarah desaku, Desa Laplapan


  

Desa Pakraman Laplapan adalah satu kesatuan Desa Pakraman yang mana terdiri dari satu banjar yaitu Banjar Dinas Laplapan. Secara geografis terletak di Desa Pejeng Kawan, tetapi secara hukum kedinasan termasuk wilayah Desa Petulu, Kecamatan Ubud dimana keberadaannya diapit oleh dua sungai, yaitu sebelah barat adalah Sungai Petanu dan sebelah timur adalah Sungai Kelantung. Laplapan disimak dari asal kata yaitu Lap-Lap diakhiri akhiran An yang menunjukkan suatu tempat menurut lontar Usana Bali ataupun Dewa Purana “Wekasang Jagat Laplapan ngaraniya reh ring akasa wenten sinar kelap-kelap pemurtian sira si Mayadanawa” berdasarkan prasasti Tirta Empul bertahun saka 919 SM dikisahkan : Seorang Prabu yang memerintahkan di Kerajaan Bataanyar di desa Bedulu sekarang bernama Prabu Jayapangus mempunyai putra yang bernama Sri Mayadenawa, karena panugran Dewi Danu sehingga Mayadenawa amat sakti, tidak bisa dikalahkan manusia, para dewa, raksasa. Sehingga beliau takabur, sombong dan menganggap dirinya sebagai dewa. Suatu ketika beliau menghancurkan siwa loka dengan para patihnya yaitu I Kala Wong, I Gudug Basur dan yang lainnya. Keadaan seperti inilah didengar oleh Sang Hyang Pasupati di Gunung Semeru dengan sabdanya diutus Dewa Indra untuk memerangi Mayadenawa dengan mohon restu kepada putra-putra beliau yang berstana di Bali, diantanya :


1.      Hyang Gni Jaya di Gunung Lempuyang
2.      Hyang Putra Jaya di Gunung Agung
3.      Hyang Tugu di Gunung Andakasa
4.      Hyang Dewi Danu di Gunung Batur
5.      Hyang Manik Galang di Pejeng
6.      Hyang Tumuwuh di Gunung Batukaru
7.      Hyang Manik Gumawang di Gunung Bratan (Puncak Mangu)

     Maka suatu ketika diperangi Mayedenawa dari arah barat daya, karena merasa kewalahan Si Mayadenawa menjadi kabur menuju ke arah utara , dimana tempat ini menjadi tempat perang tanding antara Dewa Indra dengan Mayadenawa, karena dilempar kereta Dewa Indra dengan senjata Mayadenawa dan hanguslah kereta Dewa Indra.Dan tempat ini dinamakan titiapi artinya jembatan api, lama-kelamaan dinamakan Tatiapi, dan terus dikejar maka Si Mayadenawa terbang di udara, dengan cara ini memperlihatkan diri lagi hilang  atau kelap-kelap karena memilki Ajian Pancasona, lama kelamaan tempat ini menjadi Desa Laplapan. Terus dikejar yang akhirnya sampai sekarang ada desa Melayang, Sembuwuk, Belusung, Sanding, Mancawarna, Tampaksiring, Manukaya yang wujudnya terus berubah-ubah dan akhirnya si Mayadenawa dapat dibunuh yaitu di suatu tegalan dekat dengan  banjar Sareseda dan darahnya mengalir menjadi Sungai Petanu yang artinya : Peta dalam bahasa Bali artinya suara dan Nu artinya masih, karena sebelum mayadenawa meninggal dia mengutuk bahwa dalam rentang waktu 1000 tahun aliran sungai Petanu tidak boleh airnya dipakai untuk pengairan sawah, seandainya ada, apabila dia memanen padi atau mengetam akan keluar darah dari batang padi itu sendiri.”
Demikian sekilas asal-muasal Desa Adat Laplapan secara geografis maupun secara adat.

    Diatas telah dikemukakan bahwa secara kedinasan Banjar Laplapan termasuk wilayah hukum Desa Petulu, Kecamatan Ubud. Menurut Prasasti tahun 1887 yang masih disimpan di Puri Agung Peliatan, dikemukakan sebagai berikut: Bahwa sekitar tahun 1870 setelah runtuhnya Kerajaan Bedahulu dengan Expedisi Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1343, dengan Raja yang terakhir yaitu Sri Tapolung atau para ahli menyebut gelar Sri Asta Sura Ratnabumibanten karena menurut para ahli bahwa Kerajaan Bedahulu dengan Kerjaan Pejeng adalah kerajaan Bali Kuno dan dekat,serta mungkin ada hubungan kekerabatan, sedangkan Desa Laplapan jamannya itu masih ada dibawah kerajaan Pejeng yang diperintah oleh Ida Dewa Agung Pemayun dan kita bisa lihat di Pura Penataran Desa Laplapan masih tersimpan beberapa arca yang terbuat dari batu dan Pusat Pemerintahan Bali yang sebelumnya pernah exis di Kerajaan bedahulu yaitu Prabu Asta Sura Ratna Bumi Banten dan juga pernah exis kerjaan besar di Bali yaitu dinasti Singamandawa yang berada disekitar DAS(Daerah Aliran Sungai) yaitu Sungai Pekerisan dan Sungai Petanu. Dan setelah runtuhnya Kerajaan bedahulu dengan Expedisi Maha Patih Gajah Mada, akhirnya pusat kerajaan Bali pindah ke Gelgel atau Sweca Pura. Cikal bakal keturunan Dalem Sukawati yang jumenek di Puri Peliatan yang bernama Tjikorda Agung Jelantik yang memerintah Kerajaan Sukawati belahan utara dan sepupu beliau jumenek di Puri Ubud yaitu Tjokorda Putu Sukawati Ubud ingin mengadakan perluasan wilayah, maka diseranglah kerajaan Pejeng oleh Kerajaan Peliatan dengan sekutunya. Akhirnya kerajaan Pejeng mengalami kekalahn maka sebagai tanda kemenangan diambilah desa Laplapan sebagai wilayah dari pada desa Peliatan, sedangkan orang-orang asli penduduk Laplapan karena sudah kalah, maka ada yang mengungsi ataupun masih tetap tinggal di Laplapan maka  suatu ketika orang-orang yang masih tinggal di Desa Laplapan  merasa takut sekali dengan keadaan, maka kejadian ini dilaporkan ke Puri Peliatan dan pihak Puri Peliatan akhinya mengutus masing-masing Banjar yang ada di Peliatan agar mau ke Laplapan untuk menempati wilayah itu sendiri, dengan catatan harus nuntun Ida Betara ring Dalem Puri Peliatan. Menurut buku Karya Dalem Puri Tahun 2003 dan sejak itu sampai sekarang masih mentradisi setiap ada Upakara di Pura Dalem Laplapan, baik itu sepen maupun 3 hari tetap mohon tirta ke Pura Dalem Puri Peliatan  dan sampai saat ini penduduk Laplapan banyak yang berasal  dari Desa Peliatan seperti Br.Tengah, Br. Pande, Br. Tebasaya, Br. Ambengan serta dari Padang Tegal dimana kita tahu bahwa Banjar Padang Tegal adalah kekuasaan dari Kerajaan Peliatan. Masuknya ke wilayah hukum Desa Petulu bahwa Petulu adalah Manca Peliatan/bawahan Peliatan karena jamannya itu Peliatan adalah distriknya Ubud. Punggawa atau jaman sekarang disebut kecamatan dan pernah sebelum jaman kemerdekaan Belanda tahun 1925 yang menjadi Punggawa Puri Ubud Ida Tjokorda Agung Sukawati pernah dipinang Desa Laplapan agar kembali lagi masuk wilayah Pejeng oleh Ida Tjokorda Pemayun, tetapi tidak dikasi sma punggawa Puri Ubud. Kesimpulannya secara adat tetap masuk wilayah Pejeng, tetapi secara hukum kedinasan tetap masuk wilayah Ubud.

Sumber : Eka Ilikita ST. Dhara Pita Kencana, Br. Laplapan

4 komentar:

  1. Cerita yang menarik. Ayo terus gali sejarah-sejarah lokal semacam ini. Agar Bali dan sekitarnya tahu akan jati diri kita. Suksma

    BalasHapus
  2. matur suksma
    mohon kritik dan sarannya

    BalasHapus